Skip to main content

PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA AMIL ZAKAT SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN
Hukum Islam pada dasarnya merupakan konsep yang baku, namun pada perjalanannya tidak menutup kemungkinan dilakukan ijtihad - ijtihad di dalam bidang yang dibolehkan selama tidak keluar dari bingkai Syari`ah Islamiyah. Sistem ekonomi Islam/ syariah memiliki pengawasan yang melekat pada diri setiap individu pelaku ekonomi yang berakar pada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Sistem ini pula menyelaraskan antara kemashlahatan individu dengan kemashlahatan orang banyak.
Menunaikan zakat merupakan salah satu perintah Allah SWT, sebagaiamana yang telah dipraktikkan oleh orang-orang terdahulu. Zakat sebagai wadah/ forum jalinan kerjasama dari orang yang memberi zakat (muzzaki) kepada orang yang menerima zakat (mustahik), sehingga secara ekonomi dapat membahagiakan/ mensejahterakan umat manusia.
Zakat dalam konteks umat merupakan salah satu sumber dana potensial dan sangat penting yang ditarik dari para muzzaki dengan batas ukuran tertentu. Pendapatan harta dapat ditingkatkan dengan badan zakat, karena badan zakat tidak hanya diperuntukkan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin saja, tetapi juga untuk mendorong investasi yang sekaligus terhadap produksi.
Untuk mengumpulkan dan zakat dari para muzzaki tersebut, maka dibentuklah lembaga pengelolaan zakat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 UU No.23 Tahun 2011 disebutkan bahwa Lembaga Pengelolaan Zakat di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Materi pada pembahasan ini tentang lembaga amil zakat ditinjau dari hukum yang berlaku di Indonesia terkait tugasnya sebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia. Tujuannya untuk memberikan pemahaman mengenai tugas lembaga amil zakat sebagai lembaga keuangan syariah.

  
B.  PEMBAHASAN
1.   Lembaga Amil Zakat
a.    Pengertian
Lembaga adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan suatu keilmuan atau melakukan suatu usaha [1]  Menurut fatwa MUI [2] No.8 Tahun 2011 yang dimaksud dengan amil zakat sendiri adalah :
1)      Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat
2)      Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.
Lembaga amil zakat menurut undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 1 ayat (8) disebutkan bahwa Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat[3].
Lembaga Amil Zakat juga didefinisikan sebagai intitusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak di bidang da’wah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam. Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina dan dilindung pemerintah[4]. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 17 UU No. 23 tahun 2011 pembentukan LAZ oleh masyarakat dimaksudkan untuk membantu BAZNAS dalam pengumpulan, pendistribuasian dan pendayagunaan zakat.
Jadi lembaga amil zakat adalah lembaga atau institusi atau badan yang didalamnya terdapat sekelompok orang yang disahkan pemerintah, baik dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat, bertugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat demi kemaslahatan umat.
b.   Dasar Hukum
Dasar hukum Lembaga Amil Zakat di Indonesia antara lain terdapat pada :
1)      UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
3)      Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
4)      Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 291/D  Tahun 2000 tentang pedoman teknis Pengelolaan Zakat.[5]
5)      Instruksi Presiden RI No. 3 tahun 2014
6)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2014
7)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 tahun 2014
8)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016
9)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016[6]
Berdasarkan Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 Tentang Amil Zakat, disebutkan bahwa amil zakat adalah seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat, atau seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat. Dalam hal ini, yang dimaksud seseorang atau sekelompok masyarakat dalam Fatwa tersebut adalah Lembaga Pengelola Zakat baik itu Badan Amil Zakat Nasional (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat. Berdasarkan fatwa tersebut, maka yang menjadi dasar hukum lembaga amil zakat sebagai pengelola zakat di Indonesia adalah :
1)      Firman Allah SWT, antara lain :
خُذْ مِنْ أَمْوٰ لِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلٰو تَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (التّوبة : ۱۰۳)
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui(QS:At-Taubah 103)[7]
Dalam surat At-Taubah ayat 103 tersebut telah dijelaskan bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Dan yang mengambil dan menjemput zakat tersebut adalah para petugas (amil)[8]Dimana para petugas (amil) tersebut diantaranya para petugas dari Lembaga Amil Zakat sebagai lembaga pengelola zakat di Indonesia.
إؚنَّمَاالصَّدَقَةُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۖ فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ ۗ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. (التّوبة : ۶۰)
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS : At Taubah :60)[9]
Berdasarkan penjelasan surat at-Taubah 60 diatas, dapat kita ketahui bahwa penyaluran zakat (pendidtribusian dana zakat) diperuntukkan untuk 8 (delapan) asnaf, yaitu fakir, miskin, amilin, muallaf, gharimin, riqab, fisabilillah dan ibnu sabil. Penyaluran dana umat yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Zakat (BAZNAS dan LAZ) dilakukan dalam bentuk pendistribusian (konsumtif) dan pendayagunaan (produktif). Selain menyantuni, LPZ menanamkan semangat berusaha dan kemandirian kepada kaum miskin dan dhuafa yang masih bisa bekerja agar tidak selamanya bergantung dari dana zakat.
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ (التّوبة:۷۱ (
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS : At Taubah:71)
2)      Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain :
انَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَا بَعَثَ مُعَاذا رَضِيَى اللَّهُ عَنْهُ عَلَى اليَمَنِ قَالَ ... فَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ اَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَ الِهِمْ
Artinya : “Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman bersabda : … Dan beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan zakat yang diambil dari harta orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada para orang-orang fakir di antara mereka “. (Riwayat Bukhari Muslim dari Sahabat Ibnu Abbas)[10]
3)      Qaidah Fiqhiyah
الْوَسَائِلَ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ
“Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju”
مَالَايَتِمُّ اْلوَاجِبُ اِلاَّبِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu kewajiban yang hanya bisa diwujudkan dengan melakukan sesuatu perkara, maka perkara tersebut hukumnya menjadi wajib”
تَصَرَّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِ الْمَصْلَحَةِ
“Tindakan pemimpin (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan” [11]
Berdasarkan nash tersebut maka telah jelas bahwa para penguasa/ pemerintah diwajibkan mengambil/ memungut zakat kepada mereka kaum aghniya (orang-orang kaya) dalam hal ini Muzzaki untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan (Mustahik). Zakat yang dipungut berguna untuk mensucikan harta mereka, karena dalam setiap harta mereka terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan bagi mereka yang membutuhkan.
c.    Prinsip, azas dan Tujuan
Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Zakat mempunyai enam prinsip antara lain :
1)      Prinsip keyakinan keagamaan, yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya.
2)      Prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat, yaitu membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.
3)      Prinsip produktivitas, yaitu menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu.
4)      Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus dikeluarkan.
5)      Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas atau merdeka.
6)      Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena, tapi melalui aturan yang disyariatkan.
Asas-asas Lembaga Pengelolaan Zakat adalah :
1)      Syariat Islam. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya , Lembaga Pengelola Zakat haruslah berpedoman dengan syariat islam, mulai dari tata cara perekrutan pegawai, hingga tata cara pendistribusian zakat.
2)      Amanah. Lembaga Pengelola Zakat haruslah menjadi lembaga yang dapat dipercaya.
3)      Kemanfaatan. Lembaga Pengelolaan Zakat harus mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para mustahik.
4)      Keadilan. Dalam mendistribusikan zakat, Lembaga Pengelola Zakat harus mampu bertindak adil.
5)      Kepastian Hukum. Muzaki atau mustahik harus memiliki jaminan dan kepastian hukum dalam proses pengelolaan zakat.
6)      Terintegrasi. Pengelolaan zakat harus dilakukan secara hierarkis, sehingga mampu meningkatkan kinerja pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
7)      Akuntabilitas. Pengelolaan zakat harus bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan mudah diakses oleh masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan.
Berdasarkan Pasal 3 UU No. 23 tahun 2011, tujuan pengelolaan zakat adalah
1)      Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat yang baik akan memudahkan langkah sebuah LPZ untuk mencapai tujuan inti dari zakat itu sendiri, yaitu optimalisasi zakat. Dengan bertindak efisien dan efektif, LPZ mampu memanfaatkan dana yang ada dengan maksimal.
2)      Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan
Pengelolaan zakat dimaksudkan agar dana zakat yang disalurkan benar-benar sampai pada orang yang tepat dan menyalurkan dana zakat tersebut dalam bentuk yang produktif sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan zakat untuk hal yang produktif dapat dilakukan dengan mendirikan Rumah Asuh, melakukan pelatihan home industry, mendirikan sekolah gratis, dan sebagainya.

       d.   Fungsi Lembaga Amil Zakat
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga amil zakat memiliki fungsi sebagai :
1)      Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
2)      Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
3)      Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
4)      Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat[12].
Lembaga pengelola zakat yang berkualitas sebaiknya mampu mengelola zakat yang ada secara efektif dan efisien. Program-program penyaluran zakat harus benar-benar tersalurkan oleh para mustahik dan memiliki nilai manfaat bagi mustahik tersebut. Selain itu, seluruh anggota organisasi pengelola zakat telah memahami dengan baik syariat dan seluk-beluk zakat sehingga pengelolaan zakat tetap berada dalam hukum islam dan tentunya hal ini harus sejalan dengan asas-asas pengelolaan zakat.
        e.    Sejarah Singkat Lembaga Pengelolaan Zakat di Indonesia
Diawali dari sejarah masa politik Hindia Belanda terhadap agama yang di cantumkan dalam beberapa pasal dari (indisce Stastregelin), diantaranya pada pasal 134 ayat 2 yang mengarah pada  (policy of religion neutrality) yaitu pelumpuhan syariat secara keseluruhan. Politik agama netral mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda tidak melakukan campur tangan dalam urusan agama, kecuali untuk suatu kepentingan. Kontekstualisasi dan kepentingan tersebut dibentuk dalam ketertiban masjid, zakat dan fitrah, naik haji, nikah, talak, rujuk, dan pengajaran agama Islam. Seperti tercantum dalam bijblad nomor 1892 tanggal 4 Agustus yang berisi kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk mengatasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilaksanakan oleh penghulu atau naib untuk menjaga dari penyelewengan keuangan. Kemudian pada bijblad nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905 berisi larangan bagi segenap pegawai pemerintahan maupun priyayi Bumi Putra turut campur dalam pelaksanaan zakat fitrah.[13]
Politik netral di zaman Kolonial Belanda tetap berlaku di masa penjajahan Jepang sampai masa Indonesia merdeka tradisi pengumpulan zakat oleh petugas-petugas jamaah urusan agama masih berlangsung. Perubahan untuk pengaturan zakat mengalami dinamika sejalan dengan peta perpolitikan Indonesia. Sehingga sampai tahun 1968 zakat dilaksanakan oleh umat Islam secara perorangan atau melalui kiyai, guru-guru ngaji, dan juga melalui lembaga-lembaga keagamaan dan belum ada suatu badan resmi yang bentuk oleh pemerintah (kecuali di Aceh yang sudah diatur badan zakat sejak tahun 1959).
Pasca tahun 1968 adalah tahun yang sangat penting bagi sejarah pelaksanaan zakat di Indonesia. Karena sejak tahun tersebut pemerintah mulai ikut serta menangani pelaksanaan zakat. Dasar intervensi pemerintah dari seruan Presiden di dalam Pidato peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada tanggal 26 Oktober 1968, dimana beliau menganjurkan pelakasanaan zakat secara lebih intensif untuk menunjang pembangunan negara, dan Presiden siap menjadi amil zakat nasional. Seruan tersebut ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Perintah Presiden No. 07/PRIN/1968 tanggal 31 Oktober 1968 yang memerintahkan Alamsyah Azwar Hamid dan Ali Afandi untuk membantu Presiden dalam administrasi penerimaan zakat seperti dimaksud dalam seruan Presiden pada peringatan Isra’ Mi’raj tanggal 26 Oktober 1968 tersebut.[14]
Perkembangan intervensi pemerintah Indonesia dalam memberikan pendidikan manajemen zakat yang profesional terus dilaksanakan hingga kini. Dalam perkembangan pelaksanaan zakat di Indonesia tampak kecenderungan baru yang merupakan perubahan diri dari pelaksanaan zakat tersebut. Pada tanggal 29 Mei 2002 Presiden RI meresmikan silaturahmi dan rapat koordinasi nasional ke 1 Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat seluruh Indonesia di Istana Negara. Dalam pidatonya, Presiden menekankan agar Badan Amil Zakat baik ditingkat Nasional maupun daerah, ataupun pengurus Lembaga Amil Zakat baik di tingkat nasional maupun daerah, ataupun pengurus Lembaga Amil Zakat untuk tidak ragu-ragu bekerjasama dengan Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah maupun menteri terkait lainnya.[15] Tercatat beberapa peraturan yang pernah dibuat diantaranya:
1)      UU No. 38 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 23 Tahun 2011 dan Penjelasan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
3)      Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
4)      Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/ 291 Tahun 2000 tentang pedoman teknis Pengelolaan Zakat.
5)      Instruksi Presiden RI No. 3 tahun 2014
6)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2014
7)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 tahun 2014
8)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016
9)      Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016

2.   Lembaga Keuangan Syariah
a.    Pengertian
Menurut SK Menkeu RI No. 792 Tahun 1990, lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, meliputi penghimpunan dana dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. [16] Meski dalam peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai investasi perusahaan namun tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga keuangan. Dalam kenyataannya, kegiatan usaha lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi investasi perusahaan, kegiatan konsumsi, dan kegiatan distribusi barang dan jasa.
Menurut Dahlan Siamat, lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan dengan aset nonfinansial atau aset riil.[17]
Seperti yang kita ketahui, bahwa jenis bank jika dilihat dari cara menentukannya harga terbagi menjadi dua macam, yaitu bank yang berdasarkan konvensional dan bank yang berdasarkan prinsip syariah. Dan bank konvensional penentuan harga selalu didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank syariah didasarkan kepada Konsep Islam, yaitu kerjasama dalam skema bagi hasil, baik untung maupun rugi.[18]
Secara umum lembaga keuangan berperan sebagai lembaga intermediasi keuangan yang melakukan proses penyerapan dana dari unit surplus ekonomi, baik sektor usaha, lembaga pemerintah maupun individu (rumah tangga) untuk penyediaan dana bagi unit ekonomi lain.[19]
Lembaga keuangan syariah menurut Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI 2003) adalah lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan syariah.
Menurut Syarif Wijaya lembaga keuangan syariah adalah lembaga yang berhubungan dengan penggunaan uang dan kredit atau lembaga yang berhubungan dengan proses penyaluran simpanan ke investasi. Lembaga keuangan biasanya memberikan jasa pembiayaan/ kredit dengan sebuah jaminan surat-surat berharga atau yang mempuyai nilai jual yang tinggi. Di samping itu juga, lembaga menawarkan berbagai jenis tabungan, asuransi, program pensiun dan penyediaan sistem pembayaran.[20]
b.   Dasar Hukum
Dasar hukum Lembaga keuangan syariah/ bank syariah diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang didalamnya mengintrodusir sistem pengelolaan bank berdasarkan konsep bagi hasil, yang kemudian di tingkat teknis pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil[21]. Pengertian prinsip syariah juga dijumpai dalam pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang menjelaskan prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah[22].
Firman Allah dalam surat Al Baqarah 275
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS : Al-Baqarah: 275)
 وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui(QS : Al Baqarah 188)

c.    Fungsi Lembaga Keuangan Syariah
Fungsi lembaga keuangan[23] dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu dari sisi jasa-jasa penyedia financial, kedudukanya dalam sistem perbankan, sistem finansial, dan sistem moneter. Keempat fungsi lembaga keuangan tersebut yaitu:
1)      Fungsi lembaga keuangan ditinjau dari sisi jasa-jasa penyediaan finansial. Jasa-jasa finansial yang disediakan oleh lembaga keuangan syariah harus didasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Di antara fungsi lembaga keuangan sebagai penyedia jasa-jasa finansial antara lain:
a)      Fungsi tabungan. 
b)      Fungsi Penyimpanan Kekayaan. 
c)      Fungsi Transmutasi Kekayaan. 
d)     Fungsi Likuiditas. 
e)      Fungsi Pembiayaan/ Kredit. 
f)       Fungsi Pembayaran. 
g)      Fungsi Diversifikasi Risiko. 
h)      Fungsi Manajemen Portofolio. 
i)        Fungsi Kebijakan. 
2)      Fungsi lembaga keuangan ditinjau dari sisi kedudukan lembaga keuangan dalam sistem perbankanberfungsi sebagai bagian yang terintegrasi dari unit-unit yang diberi kuasa atau memiliki kewenangan  mengeluarkan uang giral (penciptaan uang) dan deposito (time deposit).
3)      Fungsi lembaga keuangan ditinjau dari sisi kedudukan lembaga keuangan dari sistem moneter, berfungsi menciptakan uang (money).
4)      Fungsi lembaga keuangan ditinjau dari kedudukan lembaga  keuangan dari sistem financialberfungsi sebagai bagian dari jaringan yang terintegrasi dari seluruh lembaga keuangan yang ada dalam sistem ekonomi.

d.      Jenis Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga keuangan syariah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: lembaga keuangan depositori syariah (depository financial instituation syariah) yang disebut lembaga keuangan bank syariah dan lembaga keuangan syariah non depositori (non depository financial instituation syariah) yang disebut lembaga keuangan syariah bukan bank. Peranan kedua lembaga keuangan syariah tersebut adalah sebagai perantara keuangan (financial intermedition) antara yang pihak kelebihan dana atau unit surplus (ultimate lenders) dan pihak yang kekurangan dana atau unit deficit (ultimate borrowers).[24]
Lembaga keuangan syariah non depositori (bukan bank) dikelompokkan menjadi tiga bagian, antara lain bersifat kontraktual (contractual instituations), yaitu menarik dana dari masyarakat dengan menawarkan dana untuk memproteksi penabung terhadap resiko ketidakpastian. Berikutnya adalah lembaga keuangan investasi syariah (syariah investment instituation), yaitu lembaga keuangan syariah yang kegiatannya melakukan investasi di pasar uang syariah dan pasar modal syariah. Bagian ketiga adalah pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS), koperasi pesantren (kopentren), perusahaan modal ventura syariah (syariah finance company) yang menawarkan jasa sewa guna usaha (leasing), kartu kredit (credit card).[25]
Lembaga keuangan bukan bank berfungsi sebagai pengumpul dana dan penyalur dana dari masyarakat dan kepada masyarakat. Manfaat lembaga keuangan syariah non bank untuk membantu menggerakkan sistem perekonomian rakyat, khususnya untuk melayani kebutuhan ekonomi masyarakat yang tidak bis dijangkau oleh fungsi lembaga perbankan yang berlandaskan pada syariat Islam.
Lembaga amil zakat dan wakaf merupakan lembaga yang hanya ada dalam sistem keuangan syariah, karena Islam mendorong umatnya untuk menjadi sukarelawan dalam beramal atas dasar saling tolong menolong antar sesama, dan keayakinan tiap individu akan manfaat dan pengaruhnya dana zakat dan wakaf yang ditunaikan bagi kesejahteraan umat.

3.   Potensi Zakat di Indonesia
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) misalnya sebagai salah satu pengelola zakat yang dibentuk oleh Pemerintah secara perlahan tapi pasti dapat terus meningkatkan pengumpulan dana zakat yang cukup signifikan. Pada tahun 2007 dana zakat yang terkumpul di BAZNAS mencapai Rp. 450 miliar, 2008 meningkat menjadi Rp. 920 miliar, dan pada 2009 tumbuh menjadi Rp. 1,2 triliun. Untuk tahun 2010, dana zakat yang berhasil dikumpulkan BAZNAS mencapai Rp. 1,5 triliun. Meskipun angka yang berhasil dicapai oleh BAZNAS belum sebanding dengan potensi zakat yang ada di tengah-tengah masyarakat yang diprediksi bisa mencapai Rp. 19 triliun (PIRAC), atau Rp. 100 triliun (Asian Development Bank), akan tetapi apa yang telah dicapai oleh BAZNAS sesungguhnya merupakan prestasi yang luar biasa dalam menghimpun zakat[26].
Secara kuantitatif, potensi zakat fitrah dan maal yang berasal dari masyarakat secara nasional dapat dihitung[27] sebagai berikut : Jumlah penduduk Indonesia Tahun 2014 sebanyak 252.370.792 jiwa, dari jumlah tersebut terdapat sekitar 87% beragama Islam atau sekitar 221.076.814 jiwa. Apabila terdapat sekitar 50% dari penduduk beragama Islam yang tergolong muzzaki maka terdapat 110.538.407 jiwa untuk mengeluarkan zakat. Bila nishab zakat setara dengan nilai 96 gram emas, dan harga emas sebesar Rp. 529.000,-per gram, maka nishabnya sebesar 96 gram x Rp. 529.000,- = Rp. 50.784.000,- Sesuai ketentuan kewajiban zakat dikeluarkan sebesar 2,5%, maka potensi pendapatan nasional yang diperoleh dari zakat maal sebesar (2,5% x Rp. 50.784.000) x 110.538.407 jiwa = Rp. 140.339.561.527.200,-
Selanjutnya penerimaan zakat fitrah, dimana apabila terdapat 70% dari penduduk yang beragama Islam dan setiap orang mengeluarkan 3,5 kg dari makanan pokok (beras) yang harganya Rp. 7.000,- per kg, maka setiap orang mengeluarkan zakat fitrah sebesar 3,5 kg x Rp.7.000,- =Rp. 24.500,-. Maka penerimaan zakat fitrah sebesar (70% x 221.076.814 jiwa) x Rp.24.500,- = Rp. 3.791.467.365.000,- Dengan demikian, maka potensi penerimaan zakat di Indonesia (zakat maal dan fitrah) sebesar Rp. 144.131.028.892.200,-
Berdasarkan perhitungan diatas, tampak bahwa apabila pengelolaan dan pemberdayaan zakat dapat terlaksana dengan baik, maka berbagai masalah sosial ekonomi masyarakat dapat terselesaikan. Namun, kenyataannya menurut Data Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menunjukkan serapan zakat di Indonesia masih rendah. Pada 2016, tercatat zakat masuk Rp 5 triliun, dan jumlah ini hanya 1 persen dari potensi zakat di Indonesia.[28]
Zakat dalam konteks umat merupakan salah satu sumber dana potensial dan sangat penting yang ditarik dari para muzzaki dengan batas ukuran tertentu. Zakat meliputi bidang-bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat berarti mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan oleh Islam untuk menghapus kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggungjawab yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan harta kekayaan dalam segelintir orang dan memungkinkan untuk disebarkan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa zakat merupakan kewajiban umat Islam yang harus dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dana yang terkumpul dipergunakan untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung. Dengan kata lain, zakat membentuk kerjasama masyarakat, bertindak sebagai penjamin (asuransi), dan penyedia dana cadangan bagi masyarakat. Pendapatan harta dapat ditingkatkan dengan badan zakat, karena badan zakat tidak hanya diperuntukkan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin saja, tetapi juga untuk mendorong investasi yang sekaligus terhadap produksi.
Untuk mengoptimalkan potensi zakat tersebut sebagai dana cadangan bagi masyarakat, disinilah tugas pemerintah melalui BAZ ataupun LAZ menarik zakat kepada para muzzaki, mengumpulkan dana, mendayagunakan dan mendidtribusikannya tepat sasaran dan tepat maslahat.   
  
4.    Optimalisasi Peran dan Fungsi Lembaga Amil Zakat
Indonesia sebagai negara terbesar penduduk muslimnya di dunia mempunyai peluang yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lewat zakat. Namun demikian menurut penelitian yang dilakukan oleh Eri Sudewo bahwa secara umum zakat di Indonesia belum banyak berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan kaum miskin. Hal ini di sebabkan karena pengelolaan zakat oleh lembaga amil zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) kebanyakan masih menggunakan manajemen tradisional. Oleh karena itu menurutnya untuk meningkatan kualitas kehidupan kaum miskin, maka disarankan untuk meninggalkan 15 tradisi yang selama ini berkembang di BAZ dan LAZ tersebut, kemudian menerapkan 4 prinsip dasar. Lima belas tradisi dimaksud adalah:
a.    Anggapan sepele, bahwa zakat merupakan bantuan yang kemudian membentuk paradigma bahwa bantuan adalah pekerjaan sosial semata sehingga tidak perlu mendapat perhatian ekstra.
b.    Kelas dua, di mana zakat tidak perlu dikelola dengan serius, akan tetapi cukup dengan sisa-sisa tenaga saja,
c.    Tanpa manajemen akan tetapi pengelolaan zakat kebanyakan menggunakan intuisi sehingga pengeloalaan zakat berjalan sesuai dengan persepsi masing-masing,
d.   Tanpa perencanaan karena bersifat bantuan, maka kapanpun bisa dijalankan,
e.    Oleh karena tidak adanya perencanaan, maka pembentukan struktur organisasi sering kali tumpang tindih,
f.     Tanpa fit and proper test karena hal ini merupakan suatu hal yang sangat muluk bagi pengelolaan zakat yang bersifat bantuan tersebut, sehingga dengan demikian menimbulkan
g.    Kaburnya batasan antara wewenang dan tanggung jawab,
h.    Ikhlas tanpa imbalan karena anggapan bahwa hal ini meruapakan pekerjaan sosial, akan tetapi kemudian menimbulkan pengelolaan zakat
i.      Dikelola dengan paruh waktu,
j.      Lemahnya SDM,
k.    Bukan pilihan, hal ini akan berpengaruh besar pada kondisi kejiwaan yang bersangkutan dan lembaga itu sendiri,
l.      Lemahnya kreatifitas yang menyebabkan program-program yang dilahirkan tidak inovatif,
m.  Tidak ada monitoring dan evaluasi,
n.    Tidak disiplin, serta
o.    Kepanitiaan tidak ada perencanaan kegiatan yang sifatnya sporadis dan berjangka pendek.[29]
Kelima belas persoalan yang dikemukakan, Eri Sadewo masih dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu kepengurusan LAZ misalnya, pengelola zakat masih “nyambi” dengan pekerjaan yang lain, seperti pendidik, pedagang, atau perkerjaan lain dengan alasan memenuhi kebutuhan ekonomi agar ia mampu beramal secara ikhlas pada saat mengelola asset zakat. Padahal, tenaga yang digunakan pada saat mengurus LAZ adalah sisa-sisa yang digunakan dalam pekerjaan ekonomis yang ia lakukan sehari-hari. Hal ini membuat penggalian potensi zakat tidak maksimal. Sedangkan 4 prinsip dasar yang perlu dikembangkan,:
a.    Prinsip rukun Islam yang dibedakan menjadi dua, yaitu rukun pribadi dan rukun masyarakat. Zakat merupakan rukun masyarakat, yang artinya zakat merupakan bentuk ibadah vertikal kepada Allah sekaligus merupakan ibadah yang horizontal, karena menyangkut kebutuhan manusia. Menurut Sadewo, sifat dan karakter masing-masing ibadah dapat didekati.menggunakan prinsip 5 W + 1 H. Dalam persoalan how, dalam ibadah zakat pengaturannya diserahkan ke pada manusia. Sebab, sifat dan kebutuhan setiap manusia berbeda. Misalnya, ijab kabul atau penyerahan zakat dari muzakki dengan amil secara langsung tidak lagi banyak terjadi. Sebab, melalui perkembangan teknologi muzakki dapat menyalurkan dananya melalui mesin ATM atau transfer via bank. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan muzakki terhadap amil meningkat, tanpa harus bertatap muka dengannya. Selain itu, kesalehan dalam ibadah zakat merupakan keberhasilan membentuk suatu masyarakat yang saling membantu berdasarkan kesadaran.
b.   Prinsip moral, dalam pengelolaan zakat, para ‘âmil dituntut memiliki sifat jujur, amanah, siddiq, tanggung jawab, adil, kasih, gemar menolong, dan tabah. Kejujuran menjadi kata kunci utama, sebab pengelolaan zakat belum dikontrol oleh lembaga resmi yang dapat memberikan sanksi, muzakki tidak tahu kemana zakatnya disalurkan, masyarakat seolah tidak punya hak memantau pengelolaan zakat.
c.    Prinsip lembaga. Ada beberapa prinsip kelembagaan yang harus dimiliki oleh lembaga zakat agar bisa dipercaya oleh donatur dan masyarakat, yaitu: figur yang tepat, non-politik, non-golongan, independen, dan netral obyektif.
d.   Prinsip manajemen. Terdapat dua gaya dalam manajemen, yaitu management by result dan management by processManagement by result mementingkan hasil sehingga dengan demikian dia berjangka pendek, sedangkan management by process lebih mementingkan proses sehingga berjangka panjang. Menurut Eri Sudewo, lembaga zakat lebih tepat menggunakan management by processHal ini di sebab kan karena nilai yang menjadi landasan utama lembaga zakat menjadi pas dengan karakter dasar management by processkarena tujuan lembaga zakat adalah memberdayakan masyarakat. Untuk menuju pada pemberdayaan yang dimaksud dibutuhkan waktu yang cukup. Di samping itu, dibutuhkan pula partisipasi dan pengertian muzakki, mustahiq, mitra kerja, pemerintah, dan masyarakat.[30]
Prinsip pertama, dalam pandangan penulis sudah teraplikasikan. Sudah banyak LAZ yang berinovasi dalam melakukan penggalian potensi zakat, salah satunya memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Hampir semua LAZ memiliki website dan jejaring sosial. Dengan demikian, masyarakat dapat mengakses program dan laporan pendayagunaan zakat, infaq, shadaqah untuk kepentingan mustahiq. Namun, Prinsip tidak berafiliasi dengan golongan tertentu, saat ini tengah menghadapi tantangan. Sebab, hal itu justru menjadi syarat utama pendirian LAZ dalam Undang-Undang Pengeloaan Zakat yang baru. Ke khawatiran ini belum sepenuhnya terbukti hingga di keluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai aturan penjelas sekaligus aturan teknis.
Lembaga Amil Zakat memiliki peran menjadi instrumen yang berkekuatan mengeluarkan umat dari kubangan kemiskinan, baik struktural, kultural, maupun yang absolut dan relatif, sehingga salah satu solusi kemiskinan tersebut dapat benar-benar dijawab dengan pendekatan agama dengan manajemen pengelolaan zakat yang modern.
Secara garis besar fungsi lembaga pengelola zakat terdiri atas tiga fungsi. Ketiga fungsi tersebut memiliki tahapan serta tingkatan tersendiri yang akan mengklasifikasikan LPZ itu sendiri secara otomatis berada pada tingkatan yang mana. Ketiga fungsi lembaga amil zakat tersebut antara lain yaitu :
a.    Fungsi sosial, permasalahan sosial menjadi kerumitan yang sejauh ini belum nampak ujungnya dalam masyarakat kita, hal ini disebabkan atas permasalahan multidimensi yang berawal dari permasalahan kesenjangan ekonomi akibat kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemangku kepentingan, ketimpangan kesejahteraan yang begitu nyata, jurang pemisah antara orang miskin dan kaya yang begitu dalam sehingga melahirkan kasus-kasus sosial dalam masyarakat.
Sebagai jalan keluar dan tindakan pertama dalam permasalahan sosial tersebut, LPZ berfungsi sebagai bagian yang dapat secara tanggap dan cepat mengantisipasi permasalahan tersebut dengan memberikan bantuan-bantuan yang bersifat pokok untuk memenuhi kebutuhan mendasar masyarakat yang bersifat langsung memberikan manfaat seketika itu juga seperti bantuan kebutuhan akan biaya pendidikan dan kesehatan. Di samping itu pula pembinaan mental menjadi penting sebagai bagian yang terintegrasi dalam fungsi sosial tersebut.
Dalam fungsi yang pertama ini tingkat kesulitan dan kerumitannya tidak begitu besar, karena LPZ hanya sebatas menjadi mediator untuk menyalurkan harta zakat yang diambil dari wajib zakat kepada yang berhak menerima dalam bentuk bantuan langsung, fungsi ini cukup sederhana karena yang diperlukan hanyalah keterwakilan dari wajib zakat untuk menyalurkan zakatnya.
b.   Fungsi Ekonomi, LPZ tidak sekedar lembaga pembagi bantuan sekali pakai habis (karitatif). Ia beranjak lebih tinggi dari fungsi yang hanya sekedar membagikan ikan sebagai simbol barang konsumsi yaitu fungsi ekonomi. Dalam fungsi ekonomi ini, LPZ berperan sebagai media untuk menumbuhkan mental masyarakat dhuafa agar mereka dapat menghasilkan kebutuhan hidupnya sendiri dengan modal yang diberkan oleh LPZ, program-program yang bernuansa ekonomi dan berbasis pada keterampilan untuk memproduksi menjadi inti dari kegiatan LPZ tersebut.
Peran LPZ yang kedua ini sedikit lebih berat. Dalam prosesnya, LPZ harus memikirkan terlebih dahulu program ekonomi apa yang pantas dikembangkan bagi masyarakat daerah tertentu untuk selanjutnya dibiayai perjalanannya dari dana zakat masyarakat. Sehingga dana yang sudah berhasil dihimpun oleh LPZ dapat memberikan manfaat yang cukup panjang dan tidak habis dalam sekali waktu.
c.    Fungsi Advokasi atau pembelaan. Bagian ini menjadi sangat penting karena berfungsi untuk mengintervensi permasalahan kemiskinan dan dampak sosialnya dengan memakai pendekatan regulasi.
Artinya, LPZ berperan sebagai pembela atas regulasi yang tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat dhuafa yang sejatinya masih mendominasi masyarakat di Indonesia. Di sinilah, kebesaran nama, pengalaman lapangan dan kepercayaan masyarakat, memberikan posisi tawar bagi LPZ.
Fungsi yang terakhir inilah yang cukup sulit diemban oleh LPZ karena dibutuhkan pendekatan-pendekatan ekstra terhadap stakeholder yang memproduksi regulasi tersebut. Jika fungsi sosial LPZ dalam bentuk intervensi kebutuhan jangka pendek dan fungsi ekonominya sebagai intervensi jangka menengah dan panjang, maka fungsi advokasi LPZ adalah memastikan intervensi kedua hal tersebut dibebankan kepada pihak yang lebih wajib memikulnya yaitu Negara.

C.    KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan pada pembahasan sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.   Lembaga pengelola zakat baik yang dibentuk oleh pemerintah (BAZNAS) maupun yang dibentuk masyarakat (LAZ) memiliki tugas pokok dan fungsi mengumpulkan, merencanakan dan memberdayakan zakat yang terkumpul dari muzzaki dan disalurkan kepada mustahik baik dalam bentuk zakat konsumtif maupun zakat produktif .
2.   Lembaga keuangan syariah sebagai lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan syariah. Dimana lembaga keuangan syariah terbagi menjadi dua yakni lembaga keuangan syaraiah bank dan lembaga keuangan syariah non bank. Dan lembaga amil zakat dapat dikategorikan sebagai salah satu dari lembaga keuangan syariah non bank yang lebih berorientasi pada kemaslahatan umat.
3.   Menurut hemat penulis Lembaga amil zakat dengan fungsi sosial, ekonomi dan advokasinya sebgaimana dijelaskan sebelumnya tentunya sangat berperan sekali bagi pertumbuhan kesejateraan masyarakat di Indonesia. LAZ dapat berperan menjadi instrumen yang berkekuatan baik struktural, kultural, maupun yang absolut dan relatif, sehingga dapat menjadi salah satu solusi kemiskinan, dapat benar-benar dijawab dengan pendekatan agama dengan manajemen pengelolaan zakat yang modern.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rodoni, Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Zikrul Hakim. Jakarta. 2008.
Anshari, Abdul Ghofur, Penerapan Prinsip Syariah Dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Pedoman Zakat, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2006.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, Mega Jaya Abadi, 2007.
Dewan Pengurus Nasional FORDEBI & ADESY, EKONOMI DAN BISNIS ISLAM Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis Islam, Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, 2016.
FahhamA. Muchaddam.Paradigma Baru Pengelolaan Zakat di Indonesia”, dalam Jurnal Kesejahteraan Sosial, Vol.III, No.19/I/P3DI/Oktober/2011
Hafiduddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta :Gema insani Press, 2002.
Inoed, Amiruddin dan Aflatu Mukhtar dkk,  Anatomi Fiqh Zakat, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Kasmir, SE.,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Muliawati, M. Ag, Optimalisasi Pengelolaan Zakat,  disampaikan pada  Orientasi Manajemen dan Administrasi Lembaga Pengelolaan Zakat Se-Provinsi Lampung, Bandar Lampung, 19 Agustus 2015.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,2004.
Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009
Sudewo, Eri Manajemen Zakat, Tinggalkan 15 Tradisi, Terapkan 4 Prinsip Dasar Jakarta: IMZ, 2004.
Sri Susilo Y, dkk. Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Sumber Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Online Version), oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud ( Pusat Bahasa), http://kbbi.web.id/
https;//pid.baznas.go.id diakses 12 Agustus 2017
Pusat Baznas online http://pusat.baznas.go.id diakses pada 12 Agustus 2017




[1] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Online Version), oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud ( Pusat Bahasa), http://kbbi.web.id/
[2] https;//pid.baznas.go.id
[3] UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
[4] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009h. 422
[5] Amiruddin Inoed dan Aflatu Mukhtar dkk,  Anatomi Fiqh Zakat, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 127
[6] Lihat perundangan di pusat Baznas online http://pusat.baznas.go.id diakses pada 12 Agustus 2017
 [7] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, Mega Jaya Abadi, 2007, h. 162
[8] Didin Hafiduddin., Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta :Gema insani Press, 2002, h. 124-125  
[9] Departemen Agama RI, Op.Cit., h156
[10] Lihat perundangan di pusat Baznas online http://pusat.baznas.go.id diakses pada 12 Agustus 2017
[11] Ibid.
[12]UU No. 23 th 2011, Pasal 7 ayat 1
[13] Amiruddin Inoed Op.Cit., h. 125

[14] Ibid., h. 126
[15] Ibid., h. 128
[16] Y. Sri Susilo, dkk. Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 2-3
[17] Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,2004 edisi ke 4. h. 5
[18] Kasmir,SE.,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet. Ke-VI, h.177.
[19] Andri Soemitra, Op.Cit., h.27-29.
[20] Ibid. h. 28
[21] Abdul Ghofur Anshari, Penerapan Prinsip Syariah Dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 10.
[22] Ibid., h.13
[23] Andri Soemitra, Op.Cit., h. 29-35
[24] Ibid. h. 28
[25] Ahmad Rodoni, Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah. Zikrul Hakim. Jakarta. 2008. h. 1
[26] Dra. Hj. Muliawati, M. Ag, Optimalisasi Pengelolaan Zakat,  disampaikan pada  Orientasi Manajemen dan Administrasi Lembaga Pengelolaan Zakat Se-Provinsi Lampung, Bandar Lampung, 19 Agustus 2015.
[27] Dewan Pengurus Nasional FORDEBI & ADESY, EKONOMI DAN BISNIS ISLAM Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis Islam, Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, 2016. h. 410.
[29] Eri Sudewo, Manajemen Zakat, Tinggalkan 15 Tradisi, Terapkan 4 Prinsip Dasar Jakarta: IMZ, 2004, h.11-20.
[30] Ibid., h. 30-57

Comments

  1. Sy mau tany baznas bs membatu orang yg terlilit hutabg

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PERAN BAZNAS DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Masalah Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk mengeluarkan sejumlah harta tertentu, dengan syarat tertentu dan diberikan kepada orang-orang tertentu yang berhak menerimanya menurut syara’. Zakat merupakan salah satu cara alternatif dalam menanggulangi kemiskinan, karena hakikat zakat adalah memberi pertolongan pada kaum yang membutuhkan dan dapat menyelesaikan permasalahan sosial seperti pengangguran dan kemiskinan, khususnya di Indonesia. Besarnya jumlah penduduk  M uslim di Indonesia  diharapkan  dapat semakin mengoptimalisasikan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Pengelolaan zakat di Indonesia diserahkan kepada B AZNAS  dan L AZ . Kerjasama yang baik dari semua lembaga pengelola zakat sangat diperlukan untuk leb

FILOSOFI DAN POLITIK HUKUM UU NO. 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zakat merupakan salah satu instrumen dalam Islam yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan ekonomi masyarakat. Salah satu  agenda sosial yang selalu diperjuangkan oleh Islam adalah terwujudnya keseimbangan ekonomi masyarakat. Islam menghendaki adanya pemerataan dan kesejahteraan masyarakat sehingga kekayaan tidak hanya terpusat dan berputar pada kelompok masyarakat tertentu saja. Zakat merupakan salah satu instrument untuk mewujudkannya. Negara Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia memiliki perhatian serius terhadap masalah pengelolaan dan pengembangan zakat. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar pulalah, pemerintah berharap potensi yang dapat diperoleh dan dikembangkan dari zakat akan sangat besar bagi kemaslahatan umat, yakni sebagai salah satu instrument pengentasan kemiskinan, yang sampai saat ini menjadi masalah serius dan harus segera di tangani. Dengan berdasarkan kepada Pasal 29 ayat (