BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan salah satu instrumen dalam Islam
yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan ekonomi masyarakat. Salah
satu agenda sosial yang selalu
diperjuangkan oleh Islam adalah terwujudnya keseimbangan ekonomi masyarakat.
Islam menghendaki adanya pemerataan dan kesejahteraan masyarakat sehingga
kekayaan tidak hanya terpusat dan berputar pada kelompok masyarakat tertentu
saja. Zakat merupakan salah satu instrument untuk mewujudkannya.
Negara Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia memiliki perhatian serius terhadap masalah pengelolaan dan
pengembangan zakat. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar pulalah,
pemerintah berharap potensi yang dapat diperoleh dan dikembangkan dari zakat
akan sangat besar bagi kemaslahatan umat, yakni sebagai salah satu instrument
pengentasan kemiskinan, yang sampai saat ini menjadi masalah serius dan harus
segera di tangani. Dengan berdasarkan kepada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945,
Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan
Zakat, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat terbaru.
Melihat urgentnya pembahasan mengenai pengelolaan
zakat yang ada di Indonesia, maka dapatlah sekiranya penulis akan menyajikan
pembahasan utama seputar filosofi dan politik hukum pengelolaan zakat
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, penulis dapat merumuskan mengenai :
1.
Bagaimanakah awal mula
perkembangan politik hukum ekonomi syariah di Indonesia?
2.
Bagaimanakah filosofi hukum
pengelolaan zakat di Indonesia?
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, penulis membatasi permasalahan makalah ini mengenai : “awal
mula perkembangan politik hukum ekonomi syariah di Indonesia dan filosofi hukum
pengelolaan zakat di Indonesia.”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filosofi dan Politik
Hukum
Filosofi adalah kata serapan
dari bahasa Inggris yaitu philosophy.
Sedangkan kata philosophy itu sendiri adalah
kata serapan dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Yunani gabungan antara kata philo (φιλο) yang artinya “cinta” dan sophós (σοφός) yang artinya “kebijaksanaan”
menjadikan sebuah kata khusus yaitu philosophia (φιλοσοφία)
yang artinya “cinta kebijaksanaan”. Menurut Harun Nasution filsafat adalah
berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi,
dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar
persoalan.[1]
Jadi filosofi adalah studi
tentang seluruh fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep
mendasar.
Dalam
perspektif etimologi politik hukum merupakan terjemahan bahasa Belanda ”recht politik” yang berarti kebijakan (policy) sehingga dapat dikatakan sebagai kebijakan
hukum. Berkaitan dengan pengertian tersebut Klan menjelaskan bahwa kebijakan
itu adalah tindakan secara sadar dan sistimatis, dengan mempergunakan
sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran yang
dijalankan langkah demi langkah.[2]
Padmo
Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara
tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini
kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum
dan penegakannya sendiri.[3]
Dengan demikian politik hukum menurutnya berkaitan dengan hukum yang berlaku di
masa yang akan datang atau ius constituendum.[4]
Sementara
itu Mahfud MD mengemukakan “politik hukum adalah legal
policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum
lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”.[5]
Michael D. Bayles melihat hubungan politik dan hukum
itu dari tiga pola interaksi yang terbangun di antara keduanya [6] antara lain yaitu :
1. Pola pertama yakni
pola empiris yaitu pola di mana politik
mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam proses pembentukan konstitusi.
Di sini dapat dikatakan bahwa politik membentuk
hukum.
2. Pola
yang kedua adalah pola
hubungan yang bersifat analitis, yaitu pola yang
menggambarkan hukum membutuhkan kekuasaan politik agar dapat berlaku efektif. Pola
ini meski diakui oleh Hans Kelsen, namun ia
menolak adanya kebergantungan hukum terhadap politik dengan alasan
efektivitas tersebut. Kelsen berpendapat bahwa meskipun banyak kalangan yang berpendapat adanya
korelasi antara kekuasaan dan efektivitas hukum, menurut teori yang dibangunnya, hukum
merupakan tatanan atau organisasi kekuasaan
yang bersifat khas atau spesifik[7].
3. Pola
yang ketiga yaitu pola
hubungan yang bersifat
normatif. Di dalam pola ini, politik harus
menyediakan kekuatan normatif bagi berlakunya hukum.
Penegasan
hubungan politik dan hukum ini perlu dilakukan agar dapat dipahami dibagian
mana saja politik dapat berjalin dengan hukum dan di bagian mana saja politik
memang harus berpisah dari hukum. Tidak adanya penegasan hubungan politik dan hukum berpretensi
melahirkan pemahaman yang menempatkan hukum dalam posisi yang tidak suprematif. Berikut tiga asumsi yang mendasari hubungan
antara politik dan hukum yaitu :
1. Hukum determinan (menentukan)
atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan
pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita).
2. Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif
maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent
variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai
landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris.
3. Politik dan
hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti
bunyi adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan
kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh”.[8]
Menurut
Mahfud
MD, hukum
dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi bahwa dalam
realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”. Berangkat dari
studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah
teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:
1.
Pembangunan yang berintikan pembuatan dan
pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
2.
Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah
ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan
para penegak hukum.[9]
Jadi politik hukum
adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya
dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta
bagaimana hukum difungsikan. Kemudian hubungan antara politik dan hukum yakni hukum dipandang
sebagai dependent variable (variable pengaruh), sedangkan politik diletakkan
sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Situasi dan
kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat
mempengaruhi sikap yang harus
diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.
B.
Landasan Hukum Penerapan
Hukum Ekonomi Syariah
Konsep ekonomi Syariah
meletakkan nilai-nilai Islam sebagai dasar landasan dalam aktivitas
perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat lahir bathin.
Salah satu upaya merealisasikan nilai-nilai ekonomi Syariah dalam aktivitas
yang nyata adalah mendirikan lembaga-lembaga perekonomian berdasarkan Syariah
Islam.
Secara
yuridis, penerapan hukum ekonomi Syariah
di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang
dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:
1. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau
melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa;
2.
Negara berkewajiban membuat peraturan
perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud
rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang
memerlukannya;
3.
Negara berkewajiban membuat peraturan
perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran
agama (paham atheisme).
Dalam
pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata
“menjamin” sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945
tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif
melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu.
Sebenarnya, melalui ketentuan pasal 29
ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut
bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan
formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
jalan diadopsi dalam hukum positif nasional.
Keharusan tiadanya materi konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan
Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penyelenggaraan negara
Menurut
Jimly Asshiddiqie, Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan melalui prinsip hierarki norma dan elaborasi
norma. Menurut prinsip hirarki norma, maka hukum suatu negara berisi
norma-norma yang tidak boleh bertentangan dengan norma yang terkandung di dalam
syariat agama yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan dalam prinsip kedua, norma-norma yang tercermin
dalam rumusan-rumusan hukum negara, haruslah merupakan penjabaran (elaborasi normative) ajaran-ajaran syari’at agama
yang diyakini oleh warga negara.[10]
C.
Sejarah Singkat Penerapan Politik Hukum Ekonomi
Syariah
Awal mula perkembangan politik
hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu Bank Syariah dipahami sebagai
bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan
perbankan umum yang berbasis konvensional.
Dengan
diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, landasan hukum Bank Syariah menjadi cukup jelas dan kuat,
baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini ‘Prinsip
Syariah’ secara definitif terakomodasi. Eksistensi Bank Syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat
menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka
7 dan pasal 11).
Kedua
UU tersebut (UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia) menjadi
landasan hukum bagi perbankan Nasional
untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system. Bahkan
melalui PBI No. 8/3/PBI/2006 telah dikeluarkan kabijakan office chanelling.
Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, hukum
dan peraturan positif perbankan syariah semakin kuat dengan adanya berbagai
Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan PBI serta ditingkatkannya Biro
Perbankan Syariah di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Kini
tengah dibahas di DPR RUU Tentang Perbankan Syariah yang diprakarsai oleh DPR
RI. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah nanti akan semakin meneguhkan
dilaksanakannya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam politik hukum nasional,
dan yang lebih penting adalah dapat mendorong pertumbuhan dan kemajuan perbankan
syariah.[11]
Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional
negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia
adalah religious nation state atau negara
kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama
sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum
materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu
dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.[12]
Dalam prakteknya,
umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia memiliki berbagai keistimewaan,
hal ini dapat
dilihat dalam berbagai indikasi berikut:
1.
Pertama, dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
tertentu di bidang hukum, masyarakat yang beragama Islam diberikan perlindungan
hukum dan penyelesaian sesuai dengan hukum Islam. Hal ini seiring dengan adanya
UU No.3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
2. Masyarakat
yang beragama Islam yang memiliki pelayanan khas melalui Kantor Urusan Agama
(KUA). Sedangkan umat non-Muslim
mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil yang berada di setiap Kabupaten.
3. Pemerintah
Indonesia melalui Departemen Agama memiliki tugas melaksanakan dan mengurus
ibadah Haji.
4. Beberapa
daerah membuat peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang perilaku
kehidupan seorang, sekaligus memberikan perlindugan kepada mereka. Contoh Perda Kab. Banjar No.4 tahun 2005 tentang
Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Quran bagi siswa/siswi SD/MI sederajat
5. Kebijakan pemerintah Indonesia
untuk memberikan hari libur bersama pada hari-hari besar agama Islam.
6. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
berada mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai ke tingkat kabupaten/kota. MUI
memiliki wewenang untuk membuat fatwa yang
mengikat seluruh penduduk
seperti fatwa halal atau haram suatu
produk makanan dan/atau minuman yang diproduksi di Indonesia.
D.
Aspek Politik Hukum
Ekonomi Syariah
Untuk melihat
sejauhmana keberpihakan politik hukum nasional terhadap keberadaan ekonomi
syariah di Indonesia, kita dapat melihatnya melalui dua aspek, yaitu:
1. Aspek kelembagaan. Pada
ranah kelembagaan, politik hukum nasional memberikan pengaturan yang
menghadirkan kelembagaan yang memiliki otoritas dalam pengelolaan ekonomi Syariah.
Sebagai contoh, keberadaan Peradilan Agama sebagai institusi kekuasaan
kehakiman yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah
dalam yuridiksi absolutnya. Hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Pertama UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada ranah kelembagaan pula, hadirnya
Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) adalah
lompatan maju dalam politik hukum nasional. Kedua lembaga
tersebut berada di bawah MUI. Dalam struktur ketatanegaraan, MUI bukanlah
bagian dari organ kekuasaan resmi negara. MUI lebih tepat disebut sebagai badan
hukum biasa. Ia sejajar dengan berbagai organisasi keagamaan lainnya. Kehadiran DSN dan Basyarnas dalam
struktur hukum nasional seiring dengan diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kehadiran UU tersebut menuntut hadirnya
institusi penetapan legislasi
dan pengawas fatwa di bidang ekonomi
syariah yang dilakukan oleh DSN, serta institusi penyelesaian sengketa di luar
peradilan (alterbative dispute resolution). Kelembagaan Basyarnas dimaksudkan
sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif selain ke Peradilan Agama.
2. Aspek substansi
hukum yang tercermin dari lahirnya peraturan perundang-undangan yang ada. Contohnya
seperti lahir/ hadirnya berbagai UU seperti UU No.21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah, UU 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No.7
Tahun 1989 sebagaimana diberbaharui dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor
50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan berbagai
ketentuan paraturan perundang-undangan lainnya.
Secara lebih spesifik,
Fatwa DSN MUI yang sesungguhnya
bukan bagian dari produk peraturan perundang-undangan nasional kita, juga dapat dikonversi menjadi dasar
hukum tata kelola ekonomi Syariah
di Indonesia, setelah dilakukan otorisasi oleh Bank Indonesia melalui Peraturan
Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.[13]
E. Politik Hukum UU No
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
1.
Nilai-Nilai Filosofi dalam Zakat
Zakat dari segi etimologi berarti suci (ath-thaharah), tumbuh,
dan berkembang (al-nama’), keberkahan (al-barakah), dan baik
(thayyib). Zakat dalam rumus fiqih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan
Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan
syarat-syarat tertentu.[14]Sedangkan dari segi terminologi
agama zakat adalah bagian tertentu dari harta benda yang diwajibkan Allah untuk
sejumlah orang yang berhak menerimanya.[15]
Dengan cara zakat inilah harta dan jiwa akan menjadi bersih dan
suci. Harta seseorang yang tidak dizakati adalah harta yang kotor dan tidak
bersih, karena mengandung rasa tidak berterima kasih kepada Allah. Ia berfikir
bahwa mendapatkan kekayaan
itu dengan usahanya sendiri bukan dari Allah, sehingga ia merasa berat untuk
memberikan sebagian hartanya itu untuk orang lain. Sebenarnya harta yang kita
miliki itu mutlak dari allah, dan jika Allah memberikan kekayaan melebihi
kebutuhan yang kita butuhkan Allah memerintahkan kepada kita untuk mengeluarkan
sebagian hartanya untuk orang yang berhak menerimanya atau berzakat.
Zakat merupakan
ibadah yang berkaitan dengan harta benda, seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk melaksanakannya,
bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau pula dengan ketegasan dari penguasa, dan karenanya
agama menetapkan amilin atau petugas-petugas khusus
yang mengelolanya, disamping
menetapkan sanksi-sanksi kepada yang enggan demi terlaksanannya zakat sesuai
dengan petunjuk-petunjuk Ilahi.
Ada tiga landasan filosofis dan kewajiban zakat antara lain yaitu :
a. Istikhlaf (Penugasan sebagai khalifah di bumi)
Allah SWT adalah pemilik seluruh isi dunia ini. Secara
otomatis Allah SWT jugalah
penguasa harta-harta manusia. Dengan demikian seseorang yang beruntung mendapatkan sejumlah harta pada hakikatnya
hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak
pemiliknya dalam hal ini Allah SWT.
Tugas kekhalifahan/ istikhlaf manusia
secara umum adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup
dan kehidupan serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas. Untuk
menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberikan manusia anugerah sistem kehidupan
dan sarana kehidupan, sebagaimana dijelaaskan dalam QS Al-An’am Ayat 165
berikut:
وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ
وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ
لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ
وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ
١٦٥
Artinya : “Dan Dialah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS : Al-An’am :
165)
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia,
dalam pandangan Islam merupakan hak mutlak milik Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif,
sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuannya sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Hadid:7 berikut.
ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ
مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ
وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ أَجۡرٞ كَبِيرٞ
٧
Artinya : “Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” (QS : Al Hadid : 7)
Harta yang dianggap sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan
manusia bisa menikmatinya dan sebagai bekal ibadah dan bekal keimanan. Adanya ujian
merupakan satu bentuk penilaian terhadap kesadaran kepatuhan dan pengakuan
bahwa apa yang dimilikinya benar-benar merupakan karunia dan kepercayaan dari
Allah SWT
bagi yang menerimanya. Untuk itu wajib zakat merupakan suatu yang alamiah bagi kehidupan manusia, karena
zakat yang dikeluarkan atau diberikan oleh seseorang dari harta yang diperoleh,
pada hakikatnya dikembalikan pada pemilik utamanya yaitu Allah SWT.[16]
Allah SWT
memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan apa yang diperoleh dari
karunia-Nya. Namun ditegaskan bahwa karena dia bukanlah
satu-satunya khalifah dan karenanya terdapat jutaan manusia
lain yang mempunyai kedudukan yang sama sebagai khalifah, maka
mereka pun mempunyai hak yang sama.
b. Solidaritas sosial
Manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa
bantuan masyarakatnya. Demikian
juga dalam bidang materiel (ekonomi) betapapun seseorang mempunyai kepandaian,
namun hasil materiel yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain
baik secara langsung maupun tidak.
Untuk itu dalam proses pendayagunaan karunia Allah SWT, perlu dilakukan dengan cara
yang efesien dan adil agar “saudara” yang lainnya mendapatkan kemakmuran
sebagaimana yang diperolehnya. Pada dataran ini, maka adanya solidaritas sosial
(al-ta’awun al-ijtima’i) merupakan bagian lain dari dasar adanya
kewajiban zakat.
c. Persaudaraan
Manusia berasal dan satu keturunan Adam dan Hawa, sehingga antara seseorang dengan
yang lainnya terdapat pertalian darah. Persaudaraan akan lebih kokoh, jika pertalian darah diatas
ditambah dengan hubungan akidah dan kebersamaan agama.
Jadi hubungan persaudaraan telah menuntut bukan sekedar hubungan take
and give (memberi
dan menerima) atau pertukaran manfaat tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan
atau membantu walaupun yang dibantu tidak membutuhkan, lebih-lebih lagi jika
mereka bersama, hidup dalam satu lingkungan.
Zakat adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam
tentang persaudaraan dan rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah SWT dengan sangat jelas
menginginkan agar zakat ditujukan sebagai suatu bentuk ‘kontribusi’ oleh setiap
Muslim, lelaki dan perempuan, terhadap kemajuan dan kesejahteraan suatu umat Islam.
Sebagaimana dijelaskan dalam surat At Taubah 71:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ
أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ
وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ
سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
٧١
Artinya : “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS : At Taubah:71)
2.
Filosofi Politik Hukum
UU No. 23 Tahun 2011 Tentang pengelolaan Zakat
Zakat merupakan sumber
pendapatan negara pertama dan penting pada masa awal Islam. Zakat bukanlah
sumber penerimaan biasa bagi negara-negara di dunia karena pengelolaan harta
zakat harus mengikuti aturan-aturan tertentu, sehingga tidak dianggap sebagai
sumber pembiayaan utama. [17]
Pada masa ini pun sudah dikenal adanya pembagian kerja antara unsur yang
terlibat dalam pengurusan dan pengelolaan zakat diantaranya yaitu :
a. Katabah, petugas untuk mencatat
para wajib zakat.
b. Hasabah, petugas untuk
menaksir,menghitung zakat
c. Jubah, petugas untuk menarik,
mengambil zakat dari para Muzakki
d. Kahazanah, petugas untuk menghimpun
dan memelihara harta zakat
Zakat sebagai bentuk
ibadah sosial mempunyai kekuatan dan potensi yang sangat besar dalam memerangi
segala bentuk kemiskinan di Indonesia. Bahkan mampu menggugah spiritualitas
umat untuk melakukan ta’awun, tolong-menolong antar umat dan saling berbagi
rezeki demi kesejahteraan bersama.
Menurut Hazairin, Pasal
29 ayat (1) UUD 1945 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengandung
pengertian bahwa negara Indonesia wajib menjalankan, dalam penegertian
menyediakan fasilitas, agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang
pelaksanaannya memerlukan alat kekuasaan atau
penyelenggara negara. Mengingat potensi zakat yang sangat besar dalam
pengingkatan ekonomi masyarakat. Kemudian diperkuat lagi dengan cita-cita nasional, maka pengelolaan zakat perlu diatur dalam sebuah
perundang-undangan. Oleh karena itu, pada tanggal 23 September 1999,
Pemerintah
RI mengeluarkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang diiringi
dengan Peraturan Pelaksanaannya oleh Departemen Agama.[19]
Berikut
ini beberapa landasan hukum mengenai penerapan pengelolaan zakat di Indonesia:
a.
UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2)
b.
UUD 1945 pasal 34 bahwa “fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara”, maka peran BAZNAS sangat menunjang tugas
negara.
c.
UU No. 23 Tahun 2011 tentang UU Pengelolaan Zakat (Revisi UU No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat)
d.
Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang Undang RI Nomor 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan
e.
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
f.
Keputusan Menteri Agama
Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat.
g.
Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Urusan Haji No. 291/D Tahun 2000
tentang pedoman teknis Pengelolaan Zakat.[20]
h.
Instruksi Presiden RI No. 3 tahun 2014
i.
Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2014
j.
Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 tahun 2014
k.
Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan
pada bab sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan antara lain :
1.
Perkembangan politik
hukum ekonomi syariah di Indonesia yaitu diawali dengan di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, dimana Bank
Syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk
kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Dengan diberlakukannya UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, landasan hukum Bank Syariah menjadi cukup jelas dan
kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Eksistensi
Bank Syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan
moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selanjutnya perkembangan dalam dunia perbankan tersebut
diikuti pula dengan adanya peraturan-peraturan yang menyertainya di bidang lain
seperti dibentuknya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU
Penyelenggaraan Ibadah Haji, Wakaf, Peradilan Agama, dan Peraturan daerah
lainnya.
2.
Filosofi hukum
pengelolaan zakat di Indonesia berdasarkan tiga landasan filosofis yakni
istikhlaf (penugasan manusia sebagai khalifah), solidaritas sosial dan
persaudaraan. Sedangkan dasar hukum/ landasan hukum penerapan pengelolaan zakat
di Indonesia antara lain yaitu :
a.
UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2)
b.
UUD 1945 pasal 34 bahwa “fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara”, maka peran BAZNAS sangat menunjang tugas
negara.
c.
UU No. 23 Tahun 2011 tentang UU Pengelolaan Zakat (Revisi UU No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat)
d.
Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang Undang RI Nomor 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan
e.
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
f.
Keputusan Menteri Agama
Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat.
g.
Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Urusan Haji No. 291/D Tahun 2000
tentang pedoman teknis Pengelolaan Zakat.
h.
Instruksi Presiden RI No. 3 tahun 2014
i.
Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2014
j.
Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 tahun 2014
k.
Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016
l.
Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016
DAFTAR PUSTAKA
C.F.Strong, Modern
Political Constitution, revised edition, London, Sidgwick and Jackson, 1952.
Inoed, Amiruddin, dan Aflatu
Mukhtar dkk, Anatomi Fiqh Zakat, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Kelsen, Hans,
Teori Umum tentang Hukum dan Negara
[General Theory of Law and State]
Terjemahan oleh Raisul Muttaqien,
Cetakan Pertama, Bandung:Nusa
Media, 2006
Mas’udi, Masdar .F. dkk. Reinterprestasi Pendayagunaan ZIS, Jakarta, Piramedia 2004.
MD, Moh.
Mahfud, Politik Hukum
di Indonesia, cet ke-3,
Jakarta, Rajawali
Press, 2010
M.E. Nasition, et.all, Pengenalan Ekslusif Ekonomi
Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Muhammad Syah, Ismail dkk.Filsafat Hukum Islam Catatan Ke 3. Jakarta, PT Bumi Aksara 1999.
Nasution, Harun., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973
P3EI,
Ekonomi Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008.
Prihatin,
Farida.,dkk. Hukum Islam : Zakat dan Wakaf, Teori dan Prakteknya di
Indonesia, Jakarta, Fakultas Hukum UI. 2005.
Syaukani, Imam dan
A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta, Rajawali Pres, 2012
Wahjono,
Padmo, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum
Keadilan, No. 29 April 1991
Internet :
Bayles, Michael, Law
and Politics,
http://www.bibliojuridica.org/libros/3/1014/14.pdf, diakses tanggal 20 Nov 2017
https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_Hukum_ Ekonomi_Syariah
[diakses
20 Nov 2017].
https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_
Hukum_ Ekonomi_Syariah
diakses pada tanggal 20 November 2017.
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/politik-hukum-dalam-ekonomi-syariah-2/
https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_
Hukum_ Ekonomi_Syariah diakses pada
tanggal 20 November 2017.
[2] Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta, Rajawali
Pres, 2012,
h. 22. https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_Hukum_ Ekonomi_Syariah [diakses 20 Nov 2017].
[3] Padmo
Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum
Keadilan, No. 29 April 1991, h. 65
[4] Imam
Syaukani., Op.Cit. h. 27
[5] Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum
di Indonesia, cet ke-3,
Jakarta, Rajawali
Press, 2010, h. 1.
[6] Michael Bayles,
Law and Politics,
http://www.bibliojuridica.org/libros/3/1014/14.pdf, diakses tanggal 20 Nov 2017
[7] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara
[General Theory of Law and State] Terjemahan oleh Raisul Muttaqien, Cetakan Pertama, Bandung:Nusa
Media, 2006, h.175
[8] C.F.Strong, Modern
Political Constitution, revised edition, London, Sidgwick
and Jackson, 1952, h. xi-xii lihat di https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_
Hukum_ Ekonomi_Syariah diakses pada
tanggal 20 November 2017.
[9] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum....Op..Cit. h. 9
[10]
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/politik-hukum-dalam-ekonomi-syariah-2/
[11] Ibid.
[12] Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum....Op..Cit. h. 8
[13] Lihat di https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_
Hukum_ Ekonomi_Syariah diakses pada tanggal 20 November 2017.
[14] Masdar .F. Mas’udi, dkk. Reinterprestasi Pendayagunaan ZIS, Jakarta, Piramedia 2004. h. 6
[15] Ismail Muhammad Syah dkk.Filsafat Hukum Islam Catatan Ke 3. Jakarta, PT Bumi Aksara 1999.h. 187
[16] Masdar . F. Mas’udi dkk,Op Cit, h. 6-7
[17] P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2008, h. 512
[18]
Nasition, M.E. et.all, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, h. 214
[19] Prihatin, Farida.,dkk. Hukum Islam : Zakat
dan Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta, Fakultas Hukum UI.
2005, h. 96
[20] Amiruddin Inoed dan Aflatu
Mukhtar dkk, Anatomi Fiqh Zakat, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 127
[21] Lihat Perundangan
di pusat Baznas online http://pusat.baznas.go.id
diakses pada 20 November 2017
Comments
Post a Comment