Skip to main content

FILOSOFI DAN POLITIK HUKUM UU NO. 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan salah satu instrumen dalam Islam yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan ekonomi masyarakat. Salah satu  agenda sosial yang selalu diperjuangkan oleh Islam adalah terwujudnya keseimbangan ekonomi masyarakat. Islam menghendaki adanya pemerataan dan kesejahteraan masyarakat sehingga kekayaan tidak hanya terpusat dan berputar pada kelompok masyarakat tertentu saja. Zakat merupakan salah satu instrument untuk mewujudkannya.
Negara Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia memiliki perhatian serius terhadap masalah pengelolaan dan pengembangan zakat. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar pulalah, pemerintah berharap potensi yang dapat diperoleh dan dikembangkan dari zakat akan sangat besar bagi kemaslahatan umat, yakni sebagai salah satu instrument pengentasan kemiskinan, yang sampai saat ini menjadi masalah serius dan harus segera di tangani. Dengan berdasarkan kepada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terbaru.
Melihat urgentnya pembahasan mengenai pengelolaan zakat yang ada di Indonesia, maka dapatlah sekiranya penulis akan menyajikan pembahasan utama seputar filosofi dan politik hukum pengelolaan zakat berdasarkan UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis dapat merumuskan mengenai :
1.   Bagaimanakah awal mula perkembangan politik hukum ekonomi syariah di Indonesia?
2.   Bagaimanakah filosofi hukum pengelolaan zakat di Indonesia?

C.  Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis membatasi permasalahan makalah ini mengenai : “awal mula perkembangan politik hukum ekonomi syariah di Indonesia dan filosofi hukum pengelolaan zakat di Indonesia.”



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filosofi dan Politik Hukum
Filosofi adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu philosophy. Sedangkan kata philosophy itu sendiri adalah kata serapan dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Yunani gabungan antara kata philo (φιλο) yang artinya “cinta” dan sophós (σοφός) yang artinya “kebijaksanaan” menjadikan sebuah kata khusus yaitu philosophia (φιλοσοφία) yang artinya “cinta kebijaksanaan”. Menurut Harun Nasution filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[1]
Jadi filosofi adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar.
Dalam perspektif etimologi politik hukum merupakan terjemahan bahasa Belanda ”recht politik” yang berarti kebijakan (policy) sehingga dapat dikatakan sebagai kebijakan hukum. Berkaitan dengan pengertian tersebut Klan menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan sistimatis, dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran yang dijalankan langkah demi langkah.[2]
Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri.[3] Dengan demikian politik hukum menurutnya berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa yang akan datang atau ius constituendum.[4]
Sementara itu Mahfud MD mengemukakan “politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”.[5]
Michael D. Bayles melihat hubungan politik dan hukum itu dari tiga pola interaksi yang terbangun di antara keduanya [6] antara lain yaitu :
1.   Pola pertama yakni pola empiris yaitu pola  di mana politik mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam proses pembentukan  konstitusi. Di sini dapat dikatakan bahwa politik membentuk hukum.
2.   Pola yang kedua adalah pola hubungan yang bersifat analitis, yaitu pola yang menggambarkan hukum membutuhkan kekuasaan politik agar dapat berlaku efektif.  Pola ini meski diakui oleh Hans Kelsen, namun ia menolak adanya kebergantungan hukum terhadap politik dengan alasan efektivitas tersebut. Kelsen berpendapat bahwa meskipun banyak kalangan yang berpendapat adanya korelasi antara kekuasaan dan efektivitas hukum, menurut teori yang dibangunnya,  hukum merupakan tatanan atau organisasi kekuasaan yang bersifat khas atau spesifik[7].
3.   Pola yang ketiga yaitu pola hubungan yang bersifat normatif. Di dalam pola ini, politik harus menyediakan kekuatan normatif bagi berlakunya hukum.
Penegasan hubungan politik dan hukum ini perlu dilakukan agar dapat dipahami dibagian mana saja politik dapat berjalin dengan hukum dan di bagian mana saja politik memang harus berpisah dari hukum. Tidak adanya penegasan hubungan politik dan hukum berpretensi melahirkan pemahaman yang menempatkan hukum dalam posisi yang tidak suprematif. Berikut tiga asumsi yang mendasari hubungan antara politik dan hukum yaitu :
1.   Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita).
2.   Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris.
3.   Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.[8]
Menurut Mahfud MD, hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”. Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:
1.      Pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
2.      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[9]
Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan. Kemudian hubungan antara politik dan hukum yakni hukum dipandang sebagai dependent variable (variable pengaruh), sedangkan politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Situasi dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.

B.  Landasan Hukum Penerapan Hukum Ekonomi Syariah
Konsep ekonomi Syariah meletakkan nilai-nilai Islam sebagai dasar landasan dalam aktivitas perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Salah satu upaya merealisasikan nilai-nilai ekonomi Syariah dalam aktivitas yang nyata adalah mendirikan lembaga-lembaga perekonomian berdasarkan Syariah Islam.
Secara yuridis, penerapan hukum ekonomi Syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:
1.   Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.   Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;
3.   Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham atheisme).
Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata “menjamin” sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Sebenarnya, melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasional.
Keharusan tiadanya materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penyelenggaraan negara
Menurut Jimly Asshiddiqie, Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan melalui prinsip hierarki norma dan elaborasi norma. Menurut prinsip hirarki norma, maka hukum suatu negara berisi norma-norma yang tidak boleh bertentangan dengan norma yang terkandung di dalam syariat agama yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan dalam prinsip kedua, norma-norma yang tercermin dalam rumusan-rumusan hukum negara, haruslah merupakan penjabaran (elaborasi normative) ajaran-ajaran syari’at agama yang diyakini oleh warga negara.[10]

C.  Sejarah Singkat Penerapan Politik Hukum Ekonomi Syariah
Awal mula perkembangan politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu Bank Syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.
Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum Bank Syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini ‘Prinsip Syariah’ secara definitif terakomodasi. Eksistensi Bank Syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11).
Kedua UU tersebut (UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan  dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) menjadi landasan hukum bagi perbankan Nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system. Bahkan melalui PBI No. 8/3/PBI/2006 telah dikeluarkan kabijakan office chanelling.
Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, hukum dan peraturan positif perbankan syariah semakin kuat dengan adanya berbagai Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan PBI serta ditingkatkannya Biro Perbankan Syariah di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Kini tengah dibahas di DPR RUU Tentang Perbankan Syariah yang diprakarsai oleh DPR RI. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah nanti akan semakin meneguhkan dilaksanakannya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam politik hukum nasional, dan yang lebih penting adalah dapat mendorong pertumbuhan dan kemajuan perbankan syariah.[11]
Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[12]
Dalam prakteknya, umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia memiliki berbagai keistimewaan, hal ini dapat dilihat dalam berbagai indikasi berikut:
1.   Pertama, dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu di bidang hukum, masyarakat yang beragama Islam diberikan perlindungan hukum dan penyelesaian sesuai dengan hukum Islam. Hal ini seiring dengan adanya UU No.3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
2.   Masyarakat yang beragama Islam yang memiliki pelayanan khas melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan umat non-Muslim mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil yang berada di setiap Kabupaten.
3.   Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama memiliki tugas melaksanakan dan mengurus ibadah Haji.
4.   Beberapa daerah membuat peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang perilaku kehidupan seorang, sekaligus memberikan perlindugan kepada mereka. Contoh Perda Kab. Banjar No.4 tahun 2005 tentang Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Quran bagi siswa/siswi SD/MI sederajat
5.   Kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberikan hari libur bersama pada hari-hari besar agama Islam.
6.   Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berada mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai ke tingkat kabupaten/kota. MUI memiliki wewenang untuk membuat fatwa yang mengikat seluruh penduduk seperti fatwa halal atau haram suatu produk makanan dan/atau minuman yang diproduksi di Indonesia.

D.       Aspek Politik Hukum Ekonomi Syariah
Untuk melihat sejauhmana keberpihakan politik hukum nasional terhadap keberadaan ekonomi syariah di Indonesia, kita dapat melihatnya melalui dua aspek, yaitu:
1.   Aspek kelembagaan. Pada ranah kelembagaan, politik hukum nasional memberikan pengaturan yang menghadirkan kelembagaan yang memiliki otoritas dalam pengelolaan ekonomi Syariah. Sebagai contoh, keberadaan Peradilan Agama sebagai institusi kekuasaan kehakiman yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah dalam yuridiksi absolutnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada ranah kelembagaan pula, hadirnya Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) adalah lompatan maju dalam politik hukum nasional. Kedua lembaga tersebut berada di bawah MUI. Dalam struktur ketatanegaraan, MUI bukanlah bagian dari organ kekuasaan resmi negara. MUI lebih tepat disebut sebagai badan hukum biasa. Ia sejajar dengan berbagai organisasi keagamaan lainnya. Kehadiran DSN dan Basyarnas dalam struktur hukum nasional seiring dengan diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kehadiran UU tersebut menuntut hadirnya institusi penetapan legislasi dan pengawas fatwa di bidang ekonomi syariah yang dilakukan oleh DSN, serta institusi penyelesaian sengketa di luar peradilan (alterbative dispute resolution). Kelembagaan Basyarnas dimaksudkan sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif selain ke Peradilan Agama.
2.   Aspek substansi hukum yang tercermin dari lahirnya peraturan perundang-undangan yang ada. Contohnya seperti lahir/ hadirnya berbagai UU seperti UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah, UU 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana diberbaharui dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan berbagai ketentuan paraturan perundang-undangan lainnya.
Secara lebih spesifik, Fatwa DSN MUI yang sesungguhnya bukan bagian dari produk peraturan perundang-undangan nasional kita, juga dapat dikonversi menjadi dasar hukum tata kelola ekonomi Syariah di Indonesia, setelah dilakukan otorisasi oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.[13]

E.  Politik Hukum UU No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
1.   Nilai-Nilai Filosofi dalam Zakat
Zakat dari segi etimologi berarti suci (ath-thaharah), tumbuh, dan berkembang (al-nama’), keberkahan (al-barakah), dan baik (thayyib). Zakat dalam rumus fiqih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.[14]Sedangkan dari segi terminologi agama zakat adalah bagian tertentu dari harta benda yang diwajibkan Allah untuk sejumlah orang yang berhak menerimanya.[15]
Dengan cara zakat inilah harta dan jiwa akan menjadi bersih dan suci. Harta seseorang yang tidak dizakati adalah harta yang kotor dan tidak bersih, karena mengandung rasa tidak berterima kasih kepada Allah. Ia berfikir bahwa mendapatkan kekayaan itu dengan usahanya sendiri bukan dari Allah, sehingga ia merasa berat untuk memberikan sebagian hartanya itu untuk orang lain. Sebenarnya harta yang kita miliki itu mutlak dari allah, dan jika Allah memberikan kekayaan melebihi kebutuhan yang kita butuhkan Allah memerintahkan kepada kita untuk mengeluarkan sebagian hartanya untuk orang yang berhak menerimanya atau berzakat.
Zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan harta benda, seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk melaksanakannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau pula dengan ketegasan dari penguasa, dan karenanya agama menetapkan amilin atau petugas-petugas khusus yang mengelolanya, disamping menetapkan sanksi-sanksi kepada yang enggan demi terlaksanannya zakat sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi. Ada tiga landasan filosofis dan kewajiban zakat antara lain yaitu :
a.    Istikhlaf (Penugasan sebagai khalifah di bumi)
Allah SWT adalah pemilik seluruh isi dunia ini. Secara otomatis Allah SWT jugalah penguasa harta-harta manusia. Dengan demikian seseorang yang beruntung mendapatkan sejumlah harta pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak pemiliknya dalam hal ini Allah SWT.
Tugas kekhalifahan/ istikhlaf  manusia secara umum adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas. Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberikan manusia anugerah sistem kehidupan dan sarana kehidupan, sebagaimana dijelaaskan dalam QS Al-An’am Ayat 165 berikut:
وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ ١٦٥
Artinya : Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(QS : Al-An’am : 165)
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan Islam merupakan hak mutlak milik Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuannya sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Hadid:7 berikut.
ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ أَجۡرٞ كَبِيرٞ ٧
Artinya : “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar(QS : Al Hadid : 7)
Harta yang dianggap sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dan sebagai bekal ibadah dan bekal keimanan. Adanya ujian merupakan satu bentuk penilaian terhadap kesadaran kepatuhan dan pengakuan bahwa apa yang dimilikinya benar-benar merupakan karunia dan kepercayaan dari Allah SWT bagi yang menerimanya. Untuk itu wajib zakat merupakan suatu yang alamiah bagi kehidupan manusia, karena zakat yang dikeluarkan atau diberikan oleh seseorang dari harta yang diperoleh, pada hakikatnya dikembalikan pada pemilik utamanya yaitu Allah SWT.[16]
Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan apa yang diperoleh dari karunia-Nya.  Namun ditegaskan bahwa karena dia bukanlah satu-satunya khalifah dan karenanya terdapat jutaan manusia lain yang mempunyai kedudukan yang sama sebagai khalifah, maka mereka pun mempunyai hak yang sama.
b.   Solidaritas sosial
Manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan masyarakatnya. Demikian juga dalam bidang materiel (ekonomi) betapapun seseorang mempunyai kepandaian, namun hasil materiel yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung maupun tidak.
Untuk itu dalam proses pendayagunaan karunia Allah SWT, perlu dilakukan dengan cara yang efesien dan adil agar “saudara” yang lainnya mendapatkan kemakmuran sebagaimana yang diperolehnya. Pada dataran ini, maka adanya solidaritas sosial (al-ta’awun al-ijtima’i) merupakan bagian lain dari dasar adanya kewajiban zakat.
c.    Persaudaraan
Manusia berasal dan satu keturunan Adam dan Hawa, sehingga antara seseorang dengan yang lainnya terdapat pertalian darah. Persaudaraan akan lebih kokoh, jika pertalian darah diatas ditambah dengan hubungan akidah dan kebersamaan agama.
Jadi hubungan persaudaraan telah menuntut bukan sekedar hubungan take and give (memberi dan menerima) atau pertukaran manfaat tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan atau membantu walaupun yang dibantu tidak membutuhkan, lebih-lebih lagi jika mereka bersama, hidup dalam satu lingkungan.
Zakat adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam tentang persaudaraan dan rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah SWT dengan sangat jelas menginginkan agar zakat ditujukan sebagai suatu bentuk ‘kontribusi’ oleh setiap Muslim, lelaki dan perempuan, terhadap kemajuan dan kesejahteraan suatu umat Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At Taubah 71:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(QS : At Taubah:71)

2.   Filosofi Politik Hukum UU No. 23 Tahun 2011 Tentang pengelolaan Zakat
Zakat merupakan sumber pendapatan negara pertama dan penting pada masa awal Islam. Zakat bukanlah sumber penerimaan biasa bagi negara-negara di dunia karena pengelolaan harta zakat harus mengikuti aturan-aturan tertentu, sehingga tidak dianggap sebagai sumber pembiayaan utama. [17] Pada masa ini pun sudah dikenal adanya pembagian kerja antara unsur yang terlibat dalam pengurusan dan pengelolaan zakat diantaranya yaitu :
a.    Katabah, petugas untuk mencatat para wajib zakat.
b.   Hasabah, petugas untuk menaksir,menghitung zakat
c.    Jubah, petugas untuk menarik, mengambil zakat dari para Muzakki
d.   Kahazanah, petugas untuk menghimpun dan memelihara harta zakat
e.    Qasamah, petugas untuk menyalurkan zakat kepada mustahik.[18]
Zakat sebagai bentuk ibadah sosial mempunyai kekuatan dan potensi yang sangat besar dalam memerangi segala bentuk kemiskinan di Indonesia. Bahkan mampu menggugah spiritualitas umat untuk melakukan ta’awun, tolong-menolong antar umat dan saling berbagi rezeki demi kesejahteraan bersama.
Menurut Hazairin, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mengandung pengertian bahwa negara Indonesia wajib menjalankan, dalam penegertian menyediakan fasilitas, agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaannya memerlukan alat kekuasaan atau penyelenggara negara. Mengingat potensi zakat yang sangat besar dalam pengingkatan ekonomi masyarakat. Kemudian diperkuat lagi dengan cita-cita nasional, maka pengelolaan zakat perlu diatur dalam sebuah perundang-undangan. Oleh karena itu, pada tanggal 23 September 1999, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang diiringi dengan Peraturan Pelaksanaannya oleh Departemen Agama.[19]
Berikut ini beberapa landasan hukum mengenai penerapan pengelolaan zakat di Indonesia:
a.          UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2)
b.         UUD 1945 pasal 34 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka peran BAZNAS sangat menunjang tugas negara.
c.          UU No. 23 Tahun 2011 tentang UU  Pengelolaan Zakat (Revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat)
d.         Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang Undang RI Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
e.          Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
f.          Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
g.         Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 291/D  Tahun 2000 tentang pedoman teknis Pengelolaan Zakat.[20]
h.         Instruksi Presiden RI No. 3 tahun 2014
i.           Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2014
j.           Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 tahun 2014
k.         Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016
l.           Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016[21]





BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan antara lain :
1.   Perkembangan politik hukum ekonomi syariah di Indonesia yaitu diawali dengan di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, dimana Bank Syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Dengan diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum Bank Syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Eksistensi Bank Syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selanjutnya perkembangan dalam dunia perbankan tersebut diikuti pula dengan adanya peraturan-peraturan yang menyertainya di bidang lain seperti dibentuknya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, Wakaf, Peradilan Agama, dan Peraturan daerah lainnya.
2.   Filosofi hukum pengelolaan zakat di Indonesia berdasarkan tiga landasan filosofis yakni istikhlaf (penugasan manusia sebagai khalifah), solidaritas sosial dan persaudaraan. Sedangkan dasar hukum/ landasan hukum penerapan pengelolaan zakat di Indonesia antara lain yaitu :
a.    UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2)
b.   UUD 1945 pasal 34 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka peran BAZNAS sangat menunjang tugas negara.
c.    UU No. 23 Tahun 2011 tentang UU  Pengelolaan Zakat (Revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat)
d.   Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang Undang RI Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
f.    Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
g.   Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 291/D  Tahun 2000 tentang pedoman teknis Pengelolaan Zakat.
h.   Instruksi Presiden RI No. 3 tahun 2014
i.     Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2014
j.     Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 tahun 2014
k.   Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016
l.     Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 1 tahun 2016




DAFTAR PUSTAKA

C.F.Strong,  Modern  Political  Constitution,  revised edition, London, Sidgwick and Jackson, 1952.
Inoed, Amiruddin, dan Aflatu Mukhtar dkk,  Anatomi Fiqh Zakat, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara [General Theory of Law and State] Terjemahan oleh Raisul Muttaqien, Cetakan Pertama, Bandung:Nusa Media, 2006
Mas’udi, Masdar .F. dkk. Reinterprestasi Pendayagunaan ZIS, Jakarta, Piramedia 2004.
MD, Moh. Mahfud,    Politik  Hukum  di Indonesia,  cet ke-3, Jakarta, Rajawali Press, 2010
M.E. Nasition, et.all, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Muhammad Syah, Ismail dkk.Filsafat Hukum Islam Catatan Ke 3. Jakarta, PT Bumi Aksara 1999.
Nasution, Harun., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973
P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008.
Prihatin, Farida.,dkk. Hukum Islam : Zakat dan Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta, Fakultas Hukum UI. 2005.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta, Rajawali Pres, 2012
Wahjono, Padmo, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum Keadilan, No. 29 April 1991

Internet :
Bayles, Michael,    Law  and  Politics,  http://www.bibliojuridica.org/libros/3/1014/14.pdf, diakses tanggal 20 Nov 2017
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/politik-hukum-dalam-ekonomi-syariah-2/
Lihat Perundangan di pusat Baznas online http://pusat.baznas.go.id diakses pada 20 November 2017




1. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, h. 24
[2] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta, Rajawali Pres, 2012, h. 22. https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_Hukum_ Ekonomi_Syariah [diakses 20 Nov  2017].
[3] Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum Keadilan, No. 29 April 1991, h. 65
[4] Imam Syaukani., Op.Cit. h. 27
[5] Moh. Mahfud  MD,  Politik  Hukum  di Indonesia,  cet ke-3, Jakarta, Rajawali Press, 2010, h. 1.
[6] Michael  Bayles,  Law  and  Politics,  http://www.bibliojuridica.org/libros/3/1014/14.pdf, diakses tanggal 20 Nov 2017
[7] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara [General Theory of Law and State] Terjemahan oleh Raisul Muttaqien, Cetakan Pertama, Bandung:Nusa Media, 2006,  h.175
[8] C.F.Strong,  Modern  Political  Constitution,  revised edition, London, Sidgwick and Jackson, 1952, h. xi-xii  lihat di https://www.researchgate.net/publication/304358140_Politik_Hukum_Nasional_Legislasi_ Hukum_ Ekonomi_Syariah diakses pada tanggal 20 November 2017.
[9] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum....Op..Cit. h. 9
[10] http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/politik-hukum-dalam-ekonomi-syariah-2/
[11] Ibid.
[12] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum....Op..Cit. h. 8
[14] Masdar .F. Mas’udi, dkk. Reinterprestasi Pendayagunaan ZIS, Jakarta, Piramedia 2004. h. 6
[15] Ismail Muhammad Syah dkk.Filsafat Hukum Islam Catatan Ke 3. Jakarta, PT Bumi Aksara 1999.h. 187
[16] Masdar . F. Mas’udi dkk,Op Cit, h.  6-7
[17]  P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2008, h. 512
[18] Nasition, M.E. et.all, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, h. 214
[19]  Prihatin, Farida.,dkk. Hukum Islam : Zakat dan Wakaf, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta, Fakultas Hukum UI. 2005, h. 96
[20] Amiruddin Inoed dan Aflatu Mukhtar dkk,  Anatomi Fiqh Zakat, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 127
[21] Lihat Perundangan di pusat Baznas online http://pusat.baznas.go.id diakses pada 20 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA AMIL ZAKAT SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA

A.   PENDAHULUAN Hukum Islam pada dasarnya merupakan konsep yang baku, namun pada perjalanannya tidak menutup kemungkinan dilakukan ijtihad - ijtihad di dalam bidang yang dibolehkan selama tidak keluar dari bingkai Syari`ah Islamiyah. Sistem ekonomi Islam/ syariah memiliki pengawasan yang melekat pada diri setiap individu pelaku ekonomi yang berakar pada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Sistem ini pula menyelaraskan antara kemashlahatan individu dengan kemashlahatan orang banyak. Menunaikan zakat merupakan salah satu perintah Allah SWT, sebagaiamana yang telah dipraktikkan oleh orang-orang terdahulu. Zakat sebagai wadah/ forum jalinan kerjasama dari orang yang memberi zakat ( muzzaki ) kepada orang yang menerima zakat ( mustahik ), sehingga secara ekonomi dapat membahagiakan/ mensejahterakan umat manusia. Zakat dalam konteks umat merupakan salah satu sumber dana potensial dan sangat penting yang ditarik dari para muzzaki dengan batas ukuran tertentu. Pendapatan harta da

PERAN BAZNAS DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Masalah Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk mengeluarkan sejumlah harta tertentu, dengan syarat tertentu dan diberikan kepada orang-orang tertentu yang berhak menerimanya menurut syara’. Zakat merupakan salah satu cara alternatif dalam menanggulangi kemiskinan, karena hakikat zakat adalah memberi pertolongan pada kaum yang membutuhkan dan dapat menyelesaikan permasalahan sosial seperti pengangguran dan kemiskinan, khususnya di Indonesia. Besarnya jumlah penduduk  M uslim di Indonesia  diharapkan  dapat semakin mengoptimalisasikan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Pengelolaan zakat di Indonesia diserahkan kepada B AZNAS  dan L AZ . Kerjasama yang baik dari semua lembaga pengelola zakat sangat diperlukan untuk leb